Kamis, 29 November 2012

Virus Perusak Ukhuwah

Zaman yang terus bergerak merupakan tantangan tersendiri bagi umat Islam. Dakwah yang bersifat individual tidak lagi cukup kuat untuk berhadapan dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, kemunculan aneka organisasi dakwah adalah sebuah ikhtiar. Bila ditilik dari sejarahnya kita melihat beraneka tantangan melatar belakangi kemunculan organisasi dakwah. Ada yang merupakan respon atas kemiskinan dan ketertinggalan umat Islam di bidang pendidikan. Sebagai upaya membentengi umat Islam dari pengaruh modernisme yang merusak maupun ikhtiar untuk lebih membumikan Islam dalam kehidupan masyarakat.


Namun, seiring berjalannya waktu, menurut Kuntowijoyo, organisasi dakwah terkadang mengalami proses Idiocracy. Idiocracy adalah gejala konservatisme, yang mejadikan organisasinya sebagai madzhab pemikiran tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Dalam kamus Webster New Twentieth Century Dictionary, kata Yunani idios artinya ciri khas dan kratein berarti kekuasaan. Jadi idiocracy artinya “kekuasaan ciri khas”, mirip image branding dalam dunia marketing. Makin lama, Idiocarcy ini mengalami involusi, yaitu sebuah kebudayaan yang berkembang ke dalam dan semakin terperinci (Kuntowijoyo : 1998,hlm. xxv). Akibatnya dalam berinteraksi dengan organisasi lain perbedaan ini lebih ditonjolkan.

Proses Idiocracy yang akut seringkali menyebabkan para aktifisnya terjebak dalam penyakit absolutisme, eksklusifisme, fanatisme, ekstrimisme dan agresivisme keorganisasian. Ketiga penyakit yang pertama tak lain daripada ujub atau bentuk kesombongan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, ekslusivisme adalah kesombongan sosial dan fanatisme adalah kesombongan emosional. Ekstrimisme dan agresivisme tak lain daripada sifat berlebih-lebihan atau dhiya. Ekstrimisme adalah berlebih-lebihan dalam sikap mental dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam tindakan fisik. (Mazhar : 1993, hlm. ix).

Seringkali mimbar dakwah menjadi arena perwujudan ekspresi virus yang merusak ini. Sehingga yang terjadi bukan sinergi antara organisasi dakwah, tetapi lebih merupakan persaingan eksistensial. Organisasi dakwah sudah tidak lagi sekedar alat, tetapi sudah menjadi tujuan. Padahal pertentangan itu lebih banyak berkisar pada hal-hal yang sifatnya furu’iyah dan ijtihadiyah.

Untuk menanggulangi hal ini, penumbuhan tradisi ilmu di kalangan pegiat organisasi dakwah menjadi penting. Menurut Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, tradisi keilmuan Islam di abad terawal mempunyai ciri dinamik berprinsip (principled dynamism). Sebagai contoh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berguru pada Imam Malik, meski ketiganya mengasaskan madzhab yang berbeda. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari juga berguru pada Al-Juba’i yang merupakan mahaguru kaum Mu’tazilah, padahal Al Asy’ari menumbuhkan madzhab teologi yang mengkritisi dan menentang Mu’tazilah. (Wan Daud : 2003, hlm. 56).

Selain itu, Armahedi Mazhar, seorang intelektual muslim senior mengajukan tasawuf sebagai obat dari penyakit ruhani ini. Sebab dalam tasawuf ditekankan proses penyucian spiritual dan tazkiyatun nafsi yang dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit rohani dimana ujub (kesombongan) dan dhiya (berlebih-lebihan) termasuk di dalamnya. Obat dari kesombongan ini tak lain daripada tawadhu’ atau merendah diri. Obat dari penyakit dhiya itu tak lain daripada sabar atau menahan diri dan tawakal (Mazhar : 1992, hlm. Ix). Dengan tradisi ilmu yang diiringi suluk tazkiyatun nafs ini, mudah-mudahan akan tumbuh iklim dialog yang baik, dan kritisisme antar organisasi menjadi kekuatan yang justru mendinamisasi ke arah kemajuan dan kebaikan. Wallahu a’lamu bish Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar